Bandung –
Ke zaman dulu, Bandung ternyata punya sisi gelap yang jarang orang tahu. Dulu, pelacuran Menyulitkan Ke kota ini.
Pemerhati sejarah asal Bandung, Sudarsono Katam Membeberkan sisi gelap Kota Kembang zaman dulu. Cerita itu ia tuangkan Di Literatur Bandung Kilas Peristiwa Ke Mata Filatelis: Sebuah Wisata Sejarah.
Di bukunya, Katam menceritakan tentang kehidupan pelacuran Ke Bandung. Ironisnya, sisi liar tersebut tak hanya terjadi Ke zaman kolonial, tapi juga memasuki era Setelahnya kemerdekaan.
Ke bab berjudul Perempuan Bandung, Katam menuliskan tentang sisi liar tersebut. Benih-benih praktik pelacuran Ke Bandung hingga pelecehan perempuan, dimulai Ke masa Asisten Residen Priangan Pieter Sijthoff.
Praktik ini terjadi lantaran seorang pemilik perkebunan kina bernama Willem Schenk, melakukan pengerahan perempuan cantik Indo-Belanda Di perkebunan Ke Pasimalang, selatan Bandung Untuk menyemarakkan dan melayani para peserta Kongres Pengusaha Perkebunan Gula Ke Bandung (1896).
Saking suksesnya peran para perempuan Bandung Ke agenda itu, Katam menyebut peserta kongres memberi Bandung Bersama julukan sebagai De Bloem der Indische Bergsteden (Bunga Pegunungan Hindia Belanda).
Menurut Katam, kemunculan Usaha hitam itu dipicu Sebelum berlakunya sistem tanam paksa atau cultuurstelse Bersama Hindia Belanda Di 1830-1870. Di peraturannya, orang Belanda Pada itu tidak boleh membawa keluarganya Di Negeri Kincir Angin, termasuk membawa istrinya Ke Nusantara.
Sebab, kejenuhan banyak menimpa para pekerja Di Hindia Belanda tersebut. Hubungan terlarang pun banyak terjadi, misalnya Bersama pekerja lokal atau warga Disekitar perkebunan Bersama status nyai-nyai, yang Di Kontek Sini dikategorikan sebagai hidup Bersama tanpa perkawinan alias Kumpul Kebo.
Praktik Pelacuran Menjamur Ke Didekat Stasiun Kereta Api
Setelahnya itu, kemunculan praktik pelacuran ini menjamur lingkungan stasiun kereta api ațau Ke terminal angkutan kendaraan.
Katam menulis, selain moda transportasi yang sudah dibangun, kemunculan hotel dan penginapan (losmen) Ke Disekitar Stasiun Bandung (1884-1926) juga turut Menyediakan efek lantaran menyediakan perempuan pemijat tamu hotel yang lelah akibat perjalanan panjang Ke kereta api.
Sebab Kepuasan itu, muncullah komplek pelacuran seperti Ke Kebon Jeruk, Kebon Tangkil, Kebon Sirih hingga Saritem yang lokasinya tidak jauh Di Stasiun. Tempattinggal bordil pun mulai muncul baik Ke Disekitar Stasiun maupun Ke pinggiran Kota Bandung.
“Salah satu Tempattinggal bordil yang cukup terkenal adalah Hotel Bin Sin yang khusus menyediakan perempuan amoy cantik jelita Ke Spoorstraat Oost (JI Stasiun Timur), yang biasa disamarkan Bersama istilah HBS (sebenarnya HBS adalah resmi singkatan Hogere Burger School atau Sekolah Lanjutan Atas). Tahun 1960-1970 para amoy mulai muncul Kembali Ke Daerah pelacuran Disekitar Daerah JI Pagarsih,” tulis Katam.
Kemunculan Tempattinggal Bordil Ke Bandung
Justru menurut Katam, Bandung zaman dulu pernah Menyediakan izin pembangunan Tempattinggal permanen Untuk difungsikan sebagai Tempattinggal bordil. Tempattinggal tersebut terletak Ke utara Kota Bandung yang sayangnya tak terlacak keberadaannya Ke Pada itu.
Adapun sejumlah Tempattinggal bordil yang Katam catat beberapa Ke antaranya seperti Ke komplek pelacuran kelas tinggi Margawati yang terletak Ke lingkungan Gang Coorde (JI. Kejaksaan).
Justru, Katam menulis bahwa tempat lokalisasi ini terkenal Bersama sebutan “gang pelacuran” Bersama Keindahan perempuan Indo-Belanda penghuninya.
Tak hanya satu, komplek pelacuran lain yang Katam catat Ke antaranya terletak Ke Daerah Tegallega. Tempat lokalisasi ini menurutnya, Pada itu dikelola seorang perempuan bernama Nyi Dampi, mantan PSK Kebon Kalapa tahun 1890-an.
Komplek Nyi Dampi terkenal sampai tahun 1920-an dan memudar Setelahnya banyak serdadu yang mabuk Ke sana. Polisi Hindia Belanda lalu menutup tempat itu Untuk para serdadunya.
Berikutnya, ada nama komplek pelacuran Saritem yang tak kalah pamornya Justru hingga sekarang. Menurut Katam, tempat lokalisasi ini awalnya dikelola Bersama seorang bernama lcih Seeng.
Julukan itu disematkan Sebab kulit orang tersebut agak kehitaman dan tubuhnya berbentuk seperti dandang (seeng), tempat menanak nasi Ke zaman itu yang terbuat Di tembaga.
Lalu Ke masa pendudukan Jepang, ada Tempattinggal bordil yang ternyata masih beroperasi. Ke antaranya terletak Ke Pension Welgelegen Ke pojok utara Burg Kührweg (JI. Purnawarman) dan Logeweg (JI. Wastukencana), yang dikelola seorang perempuan Belanda-istri seorang serdadu Jepang.
Lalu, ada juga Ke Ke salah satu bangunan pertokoan Ke JI Braga, dan Ke Gang Aleng yang begitu terkenal Ke akhir 40-an. Tapi, Sebab ditentang warga, komplek pelacuran Ke Gang Aleng lalu ditutup dan namanya lalu diganti menjadi Jl Panjunan Ke 1960-an.
Praktik Pelacuran Ke Konferensi Asia Afrika (KAA)
Ironisnya, Di catatan Katam, praktik pelacuran tak hanya terjadi Pada zaman penjajahan. Setelahnya Indonesia merdeka, praktik itu masih terjadi Ke Kota Kembang Justru sempat mencoreng nama harum Bandung Ke kancah internasional.
Peristiwa itu terjadi Pada Konferensi Asia Afrika 1955. Di penuturannya, panitia KAA secara sembunyi-sembunyi dan terselubung menyiapkan layanan perempuan Untuk para anggota delegasi.
“….Kejadian memalukan yang serupa terjadi lagi Ke masa Setelahnya kemerdekaan, Ke sebuah peristiwa besar yang mengharumkan nama Bandung Ke pentas internasional, yaitu Pada berlangsungnya Konferensi Asia Afrika tahun 1955….,” urai Katam.
“…Panitia secara sembunyi-sembunyi dan terselubung ternyata menyiapkan layanan perempuan Untuk para anggota delegasi. Layanan panitia yang sangat dicela dan disayangkan Bersama banyak pihak. Seorang pekerja seks komersial (PSK) kelas atas yang cukup punyą nama Ke Bandung sempat harus dirawat Ke Puskesmas Setelahnya melayani seorang peserta Konferensi..,” pungkasnya.
——–
Artikel ini telah naik Ke detikJabar.
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Sisi Gelap Bandung Zaman Dulu: Pelacuran Menyulitkan