Jakarta –
Kelas rawat inap standar (KRIS) yang semula diwacanakan sebagai pengganti kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesejaganan menuai banyak pro-kontra. Salah satu yang paling disorot adalah regulasi maksimum kapasitas tempat tidur Di satu ruangan, utamanya Untuk kelas 3. KRIS menetapkan maksimal empat bed pasien Di satu ruangan rawat inap.
Di Pertemuan kerja bersama Komisi IX Lembaga Legis Latif RI, sejumlah penolakan dilontarkan beberapa anggota. Sentilan keras Di Irma Chaniago Fraksi Nasdem misalnya, dirinya mempertanyakan evaluasi kajian KRIS yang hingga kini diklaim belum dibahas bersama Komisi IX Lembaga Legis Latif RI. Hal ini dinilai mengkhawatirkan lantaran masih banyak keraguan Yang Berhubungan Di kesiapan Fasilitas Medis, khususnya Ke Lokasi, Untuk memastikan KRIS tidak malah menghambat Perawatan pasien Lantaran pengurangan bed atau tempat tidur.
Menurut Irma, tanpa penerapan KRIS saja, tidak sedikit Kelompok Ke Daerah khususnya Lokasi masih terhambat Di akses Perawatan Di dalih penuhnya ruangan rawat inap, meski satu ruangan rawat inap bisa mencapai 12 orang.
“Kenyataannya sekarang RS belum siap, kita ini Ke Lokasi kami punya dapil, kami tau persis Di 12 per kamar saja tidak tertampung, banyak sekali Kelompok yang tidak bisa masuk RS Lantaran rawat inap, Karena Itu jangan ngegampangin,” kata dia, Jumat (6/6/2024).
Keresahan yang tidak jauh berbeda diutarakan anggota Komisi IX Lembaga Legis Latif RI Edy Wuryanto, dirinya mengingatkan Kemenkes RI Untuk berhati-hati Di penerapan Keputusan KRIS. Menurutnya, ada potensi kehilangan tempat tidur hingga lebih Di 100 ribu, yang dinilai tentu berdampak Di akses Kelompok Ke fasilitas Kesejaganan kerja sama BPJS.
“Hitungan saya potensi kehilangan (tempat tidur Fasilitas Medis) ada 125.000 tempat tidur. Itu yang saya anggap menurunkan akses orang ketika sakit tapi tempat tidur tidak ada,” beber Edy.
Menambah kekhawatiran tersebut, anggota Komisi IX Lembaga Legis Latif RI Di Fraksi PKS Netty Prasetiyani meyakini pengurangan bed pasien bisa menambah antrean Ke pelayanan. Bukan tidak Bisa Jadi, penetapan KRIS disebutnya malah menimbulkan masalah Terbaru.
Dirinya meminta jangan sampai aturan yang berlaku bertolak Dibelakang dan menyalahi amanat undang-undang Yang Berhubungan Di jaminan dan hak warga Bangsa Untuk Merasakan Kesejaganan.
“Jangan sampai menimbulkan masalah Terbaru, jangan sampai Lalu tidak memikirkan dan menggeneralisasi antrean terlalu panjang,” sorotnya.
“Boleh Karena Itu mereka terpaksa pergi Ke RS yang nggak ada kerja sama Di BPJS,” ungkapnya.
Pemahaman KRIS Ke Kelompok
Persoalan lain yang juga menjadi catatan Ke balik KRIS disinggung Dewan Pengawas BPJS Kesejaganan, Abdul Kadir. Pria yang juga sempat menjabat Direktur Jenderal Pelayanan Kesejaganan Kemenkes RI tersebut meminta pemerintah melakukan sosialisasi secara masif Yang Berhubungan Di Syarat KRIS.
Pasalnya, belum banyak warga Indonesia yang benar-benar memahami perubahan dan perbedaan KRIS serta kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesejaganan.
“Perlu dilakukan sosialisasi secara masif kepada seluruh peserta agar mereka memahami filosofi adanya KRIS,” kata Prof Kadir, Di kesempatan serupa.
Perpres Nomor 59 Tahun 2004 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Kepala Negara Nomor 82 Tentang Jaminan Kesejaganan Menunjukkan penerapan iuran, tarif, hingga manfaat KRIS dilakukan antarlembaga dan kementerian Di hasil evaluasi selambatnya ditetapkan 1 Juli 2025.
Menurut Prof Kadir, evaluasi tersebut harus dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya Di sisi tarif, iuran, tetapi kesiapan seluruh pihak dan dampak yang bisa terjadi Di penerapan KRIS. .
“Juga memperhatikan jumlah peserta JKN yang Lebih besar. Tentu kita tidak mengharapkan Di adanya KRIS ada peserta JKN yang tidak dapat layanan Lantaran antrean yang panjang,” lanjut dia.
NEXT: Wamenkes Buka Suara
Artikel ini disadur –> Detik.com Indonesia Berita News: Gaduh Pro Kontra KRIS Vs Kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesejaganan